Untuk memahami seseorang, kamu harus
mendengarkannya. Kejutan! Masalahnya adalah kebanyakan dari kita tidak tahu
bagaimana caranya mendengarkan.
Bayangkan. Kamu berusaha memutuskan mau
ambil mata kuliah apa tahun depan. Kamu buka daftarnya untuk melihat apa saja
yang ada.
“Hmmm…
coba ya… Geometri. Penulisan kreatif. Pidato. Literatur inggris. Mendengarkan.
Tunggu dulu. Mendengarkan? Kuiah mendengarkan? Becanda ya?”
Ini pasti mengejutkan bukan? Tetapi
seharusnya tidak, karena mendengarkan adalah salah satu dari empat bentuk
komunikasi kita yang utama, bersama dengan membaca, menulis, dan berbicara. Dan
kalau kamu renungkan, semenjak lahir kamu terus belajar membaca, menulis, dan
berbcara, tetapi kapan kamu belajar mendengarkan?
Kalau orang bicara kita jarang
mendengarkan karenabiasany kita sibuk menyiapkan jawabannya, menghakimi, atau
menyaring kaa-kata mereka lewat paradigma kita sendiri. Sungguh biasa bagi kita
untuk menggunakan salah satu gaya mendengarkan yang buruk berikut ini:
Lima Gaya Mendengarkan yang Buruk
1. Mengawang-awang
adalah ketika seseorang berbicara
kepada kita tetapi kita tidak menggubrisnya karena pikiran kita sedang melamun
ke galaksi lainnya. Mungkin mereka ingin mengatakan sesuatu yang penting,
tetapi kita begitu terperangkap dalam pikiran kita sendiri. Kita semua juga
suka mengawang-awang sesekali, tetapi kalau sering nanti kamu dapat reputasi
“mengawang-awang”.
2. Pura-pura
mendengarkan lebih umum lagi. Kita
tetap tidak terlalu memperhatikan lawan bicara kita, tetapi setidaknya kita
pura-pura mendengarkan dengan melontarkan komentar-komentar seperti “ya sih”,
“uh-huh”,”hebat”,”kedengartannya boleh juga”. Biasanya lawan bicarakita akan
tahu dan akan merasa ia tidak cukup penting untuk ddengarkan
3. Mendengarkan
secara selektif adalah
ketika kita memperhatikana hanya bagian percakapan yang menarik kita.
Umpamanya, kalau temanmu sedang bercerita bagaimana rasanya rasanya berada di
balik bayang-bayang kakaknya yang bertalenta dalam angkatan bersenjata. Yang
kamu dengar Cuma kata “angkatan bersenjata” dan kamu bilan,”Oh ya, angkatan
bersenjata! Belakangan ini juga aku mikirin soal itu”. Karena kamu akan
membicarakan, bukannya apa yang ingin dibicarakan lawan bicaramu, kemungkinan
besar kamu takkan pernah mengembangkan persahabatan yang langgeng.
4. Mendengarkan
kata per kata adalah
kalau kita sungguh-sungguh memperhatikan apa yang diucapkan, tetapi yang kita
dengarkan hanyalah kata-katanya, bukanlah bahasa tubuhnya, perasaanya, atau
makna sesungguhnya di balik kata-kataitu. Akibatnya, kita melewatkan makna
sesungguhnya. Teman kamu, Kim, mungkin bilang sama kamu, “bagaimana menurutmu
tantang Ronaldo?”mungkin kamu menjawabnya, “kurasa ia cukup keren”, tetapi
kalau saja kamu lebih peka, dan mendengarkan bahasa tubuhnya serta nadanaya
juga, mungkin kamu sadar bahwa yang sebenarnya ia maksudkan adalah,”menurutmu,
Ronaldobenar-benar suka sama aku tidak?” kalau kamu hanya fokus pad
kata-katanya saja, kamu jarang bisa memahami perasaannya yang lebih dalam dari
lawan bicaramu.
5. Mendengarkan
yang terpusat pada diri sendiri adalah kalau kita memandang segalanya dari
kacamata kita sendiri. Bukannya mencoba menyelami perasaan lawan bicara kita,
kita menuntut mereka menyelami perasaan kita.dari sinilah munculnya kalimat
“Oh, aku tahu deh bagaimana perasaanmu”. Kita tidak tahu bagaimana persisnya
perasaan mereka, kita tahu bagaimana persisnya perasaan kita, dan kita
berasumsi mereka seperti kita, seperti penjual sepatu yang menganggap seharusnya
kamu suka sepatu yang ditawarkannya karena ia sendiri suka. Mendengarkan yang
terpusat pada diri sendiri itu ibarat persaingan.”:menurutmu harimu sial? Itu
sih belum apa-apa. Kamu belum tahu sih apa yang terjadi pada diriku.
Sumber: The 7 HABITS of Highly Effective TEENS, Sean Covey.
Sumber: The 7 HABITS of Highly Effective TEENS, Sean Covey.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar