Minggu, 22 April 2012

5.1. Lima Gaya Pendengar yang Buruk




Untuk memahami seseorang, kamu harus mendengarkannya. Kejutan! Masalahnya adalah kebanyakan dari kita tidak tahu bagaimana caranya mendengarkan.

Bayangkan. Kamu berusaha memutuskan mau ambil mata kuliah apa tahun depan. Kamu buka daftarnya untuk melihat apa saja yang ada.

“Hmmm… coba ya… Geometri. Penulisan kreatif. Pidato. Literatur inggris. Mendengarkan. Tunggu dulu. Mendengarkan? Kuiah mendengarkan? Becanda ya?”


Ini pasti mengejutkan bukan? Tetapi seharusnya tidak, karena mendengarkan adalah salah satu dari empat bentuk komunikasi kita yang utama, bersama dengan membaca, menulis, dan berbicara. Dan kalau kamu renungkan, semenjak lahir kamu terus belajar membaca, menulis, dan berbcara, tetapi kapan kamu belajar mendengarkan?

Kalau orang bicara kita jarang mendengarkan karenabiasany kita sibuk menyiapkan jawabannya, menghakimi, atau menyaring kaa-kata mereka lewat paradigma kita sendiri. Sungguh biasa bagi kita untuk menggunakan salah satu gaya mendengarkan yang buruk berikut ini:
Lima Gaya Mendengarkan yang Buruk 

1. Mengawang-awang adalah ketika seseorang berbicara kepada kita tetapi kita tidak menggubrisnya karena pikiran kita sedang melamun ke galaksi lainnya. Mungkin mereka ingin mengatakan sesuatu yang penting, tetapi kita begitu terperangkap dalam pikiran kita sendiri. Kita semua juga suka mengawang-awang sesekali, tetapi kalau sering nanti kamu dapat reputasi “mengawang-awang”.

2.  Pura-pura mendengarkan lebih umum lagi. Kita tetap tidak terlalu memperhatikan lawan bicara kita, tetapi setidaknya kita pura-pura mendengarkan dengan melontarkan komentar-komentar seperti “ya sih”, “uh-huh”,”hebat”,”kedengartannya boleh juga”. Biasanya lawan bicarakita akan tahu dan akan merasa ia tidak cukup penting untuk ddengarkan

3. Mendengarkan secara selektif adalah ketika kita memperhatikana hanya bagian percakapan yang menarik kita. Umpamanya, kalau temanmu sedang bercerita bagaimana rasanya rasanya berada di balik bayang-bayang kakaknya yang bertalenta dalam angkatan bersenjata. Yang kamu dengar Cuma kata “angkatan bersenjata” dan kamu bilan,”Oh ya, angkatan bersenjata! Belakangan ini juga aku mikirin soal itu”. Karena kamu akan membicarakan, bukannya apa yang ingin dibicarakan lawan bicaramu, kemungkinan besar kamu takkan pernah mengembangkan persahabatan yang langgeng.

4.  Mendengarkan kata per kata adalah kalau kita sungguh-sungguh memperhatikan apa yang diucapkan, tetapi yang kita dengarkan hanyalah kata-katanya, bukanlah bahasa tubuhnya, perasaanya, atau makna sesungguhnya di balik kata-kataitu. Akibatnya, kita melewatkan makna sesungguhnya. Teman kamu, Kim, mungkin bilang sama kamu, “bagaimana menurutmu tantang Ronaldo?”mungkin kamu menjawabnya, “kurasa ia cukup keren”, tetapi kalau saja kamu lebih peka, dan mendengarkan bahasa tubuhnya serta nadanaya juga, mungkin kamu sadar bahwa yang sebenarnya ia maksudkan adalah,”menurutmu, Ronaldobenar-benar suka sama aku tidak?” kalau kamu hanya fokus pad kata-katanya saja, kamu jarang bisa memahami perasaannya yang lebih dalam dari lawan bicaramu.

5.  Mendengarkan yang terpusat pada diri sendiri  adalah kalau kita memandang segalanya dari kacamata kita sendiri. Bukannya mencoba menyelami perasaan lawan bicara kita, kita menuntut mereka menyelami perasaan kita.dari sinilah munculnya kalimat “Oh, aku tahu deh bagaimana perasaanmu”. Kita tidak tahu bagaimana persisnya perasaan mereka, kita tahu bagaimana persisnya perasaan kita, dan kita berasumsi mereka seperti kita, seperti penjual sepatu yang menganggap seharusnya kamu suka sepatu yang ditawarkannya karena ia sendiri suka. Mendengarkan yang terpusat pada diri sendiri itu ibarat persaingan.”:menurutmu harimu sial? Itu sih belum apa-apa. Kamu belum tahu sih apa yang terjadi pada diriku. 

Sumber: The 7 HABITS of Highly Effective TEENS, Sean Covey.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar